Meluruskan Salah Kaprah Tentang e-Learning
by Romi Satria Wahono
Mas
Romi, kami ingin membangun e-Learning untuk sekolah kami, tapi kami
tidak punya dana untuk membeli peralatan teleconference. Apa saja sih
prasyarat sehingga bisa disebut sekolah kami telah menerapkan
e-Learning? Mohon pencerahannya ya mas. Thanks. (Taufik, Purwokerto)
Berbarengan dengan booming e-Learning di sekolah dan
kampus, banyak pertanyaan senada meskipun dengan narasi berbeda yang
masuk ke mailbox atau YM saya tentang implementasi e-Learning. Intinya
menanyakan seperti apa sih yang disebut e-Learning itu dan apa saja
komponen yang harus dilengkapi untuk implementasi e-Learning. Mari kita
kupas bersama makhluk menarik bernama e-Learning ini.
DEFINISI DAN KOMPONEN E-LEARNING
Kita mulai dari definisi. Istilah e-Learning atau
eLearning mengandung pengertian yang sangat luas, sehingga banyak pakar
yang menguraikan tentang definisi eLearning dari berbagai sudut pandang.
Salah satu definisi yang cukup dapat diterima banyak pihak misalnya
dari Darin E. Hartley [Hartley, 2001] yang menyatakan:
eLearning merupakan suatu jenis belajar mengajar yang memungkinkan tersampaikannya bahan ajar ke siswa dengan menggunakan media Internet, Intranet atau media jaringan komputer lain.
LearnFrame.Com dalam Glossary of eLearning Terms [Glossary, 2001] menyatakan suatu definisi yang lebih luas bahwa:
eLearning adalah sistem pendidikan yang menggunakan aplikasi elektronik untuk mendukung belajar mengajar dengan media Internet, jaringan komputer,maupun komputer standalone.
Definisi-definisi lain berserakan di buku-buku. Cara
termudah dan tercepat melihat berbagai definisi e-Learning, ya lewat
Google Coba deh klik di sini. Untuk yang tertarik eksplorasi Google lebih jauh, jangan lupa untuk ikuti artikel saya tentang teknik pencarian di Google.
Ok apa yang dapat kita simpulkan dari berbagai definisi diatas?
-
Metode belajar mengajar baru yang menggunakan media jaringan komputer dan Internet
-
Tersampaikannya bahan ajar (konten) melalui media elektronik. Otomatis bentuk bahan ajar juga dalam bentuk elektronik (digital).
-
Adanya sistem dan aplikasi elektronik yang mendukung proses belajar mengajar
Kesimpulan definisi diatas ini yang sering saya
gunakan untuk membuat bagan komponen e-Learning. Dengan kata lain,
komponen yang membentuk e-Learning adalah:
-
Infrastruktur e-Learning: Infrastruktur e-Learning dapat berupa personal computer (PC), jaringan komputer, internet dan perlengkapan multimedia. Termasuk didalamnya peralatan teleconference apabila kita memberikan layanan synchronous learning melalui teleconference.
-
Sistem dan Aplikasi e-Learning: Sistem perangkat lunak yang mem-virtualisasi proses belajar mengajar konvensional. Bagaimana manajemen kelas, pembuatan materi atau konten, forum diskusi, sistem penilaian (rapor), sistem ujian online dan segala fitur yang berhubungan dengan manajemen proses belajar mengajar. Sistem perangkat lunak tersebut sering disebut dengan Learning Management System (LMS). LMS banyak yang opensource sehingga bisa kita manfaatkan dengan mudah dan murah untuk dibangun di sekolah dan universitas kita.
-
Konten e-Learning: Konten dan bahan ajar yang ada pada e-Learning system (Learning Management System). Konten dan bahan ajar ini bisa dalam bentuk Multimedia-based Content (konten berbentuk multimedia interaktif) atau Text-based Content (konten berbentuk teks seperti pada buku pelajaran biasa). Biasa disimpan dalam Learning Management System (LMS) sehingga dapat dijalankan oleh siswa kapanpun dan dimanapun. Depdiknas cukup aktif bergerak dengan membuat banyak kompetisi pembuatan multimedia pembelajaran. Pustekkom juga mengembangkan e-dukasi.net yang mem-free-kan multimedia pembelajaran untuk SMP, SMA dan SMK. Juga mari kita beri applaus ke pak Gatot (Biro PKLN) yang mulai memberikan insentif dan beasiswa untuk mahasiswa yang mengambil konsentrasi ke Game Technology yang arahnya untuk pendidikan. Ini langkah menarik untuk mempersiapkan perkembangan e-Learning dari sisi konten.
Sedangkan Actor yang ada dalam pelaksanakan e-Learning boleh dikatakan sama dengan proses belajar mengajar konvensional, yaitu perlu adanya guru (instruktur) yang membimbing, siswa yang menerima bahan ajar dan administrator yang mengelola administrasi dan proses belajar mengajar.
Oh ya terminologi yang berhubungan dengan e-Learning sebenarnya banyak. Ada online learning, software learning, multimedia learning, computer based learning.
Boleh dikatakan semua bisa diwakili oleh e-Learning, baik dalam
perspektif umum (online learning, computer based learning) maupun dalam
perspektif komponen e-Learning (multimedia learning sebagai komponen e-Learning content dan software learning sebagai komponen e-learning system).
Sedikit perlu kita garis bawahi untuk terminologi distance learning. Terminologi distance learning
ini sejak dulu sudah ada, hanya dulu distribusi bahan ajar dan proses
pembelajaran tidak menggunakan media elektronik, misalnya universitas
terbuka yang dulu mengirimkan module pembelajaran lewat pos. Hanya, saat
ini universitas yang menerapkan distance learning kebanyakan sudah
menggunakan media elektronik untuk mendistribusikan bahan ajar dan
proses belajar mengajar, dengan kata lain bisa saja distance learning masuk ke definisi e-Learning untuk kondisi ini. Tapi tidak menjadi masalah kalau open university yang ada di dunia ini tetap menggunakan term distance learning,
karena mungkin sudah lebih lama dan terbiasa digunakan. Yang pasti
secara kohesi terminologi, distance learning akan dekat dengan
terminologi open university dan synchronous learning.
METODE PENYAMPAIAN E-LEARNING
Seperti kita lihat di atas, peralatan teleconference
yang mahal itu posisinya ada di infrastruktur e-Learning (komponen
pertama). Meskipun kalaupun tidak ada juga tidak masalah. Lho kok bisa?
Ya karena peralatan teleconference akan mendukung e-Learning yang Synchronous tapi tidak untuk yang Asynchronous. Waduh apalagi nih?
Jadi metode penyampaian bahan ajar di e-Learning ada dua:
-
Synchrounous e-Learning: Guru dan siswa dalam kelas dan waktu yang sama meskipun secara tempat berbeda. Nah peran teleconference ada di sini. Misalnya saya mahasiswa di Universitas Ujung Aspal mengikuti kuliah lewat teleconference dengan professor yang ada di Stanford University. Nah ini disebut dengan Synchronous e-Learning. Yang pasti perlu bandwidth besar dan biaya mahal. Jujur saja Indonesia belum siap di level ini, dalam sudut pandang kebutuhan maupun tingginya biaya. Tapi ada yang main hajar saja (tanpa study yang matang) mengimplementasikan synchronous e-Learning ini. Hasilnya peralatan teleconference yang sudah terlanjur dibeli mahal hanya digunakan untuk coffee morning, itupun 6 bulan sekali
-
Asynchronous e-Learning: Guru dan siswa dalam kelas yang sama (kelas virtual), meskipun dalam waktu dan tempat yang berbeda. Nah disinilah diperlukan peranan sistem (aplikasi) e-Learning berupa Learning Management System dan content baik berbasis text atau multimedia. Sistem dan content tersedia dan online dalam 24 jam nonstop di Internet. Guru dan siswa bisa melakukan proses belajar mengajar dimanapun dan kapanpun. Tahapan implementasi e-Learning yang umum, Asynchronous e-Learning dimatangkan terlebih dahulu dan kemudian dikembangkan ke Synchronous e-Learning ketika kebutuhan itu datang.
STRATEGI IMPLEMENTASI DAN KEGAGALAN E-LEARNING
Kalau ditanya tentang strategi implementasi
e-Learning, saya pikir ini parameternya terlalu banyak, tergantung
kebutuhan, kultur institusi, ketersediaan dana dan berbagai faktor lain.
IlmuKomputer.Com menerapkan strategi seperti apa yang saya tulis di artikel tentang model motivasi komunitas (Romi,
2007). Usulan saya sebagai konsultan e-Learning di beberapa perusahaan
dan universitas tentang implementasi e-Learning biasanya berupa:
-
e-Learning harus didesain utk dapat memberikan nilai tambah secara formal (karier, insentif, dsb) dan nonformal (ilmu, skill teknis, dsb) untuk pengguna (pembelajar, instruktur, admin)
-
Pada masa sosialisasi terapkan blended eLearning untuk melatih behavior pengguna dalam e-life style (tidak langsung full e-Learning)
-
Project eLearning adalah institution initiative dan bukan hanya IT or HRD initiative
-
Jadikan pengguna sebagai peran utama (dukung aktualisasi diri pengguna), tidak hanya object semata
Perlu kita catat bersama bahwa kegagalan implementasi
e-Learning kebanyakan bukan karena masalah tools, software atau
infrastruktur. Tapi kebanyakan karena human factor, karena beratnya perubahan kultur kerja dan karena tidak adanya kemauan untuk knowledge sharing.
Dari sebuah studi tahun 2000 yang dilakukan oleh Forrester Group
kepada 40 perusahaan besar menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja
(lebih dari 68%) menolak untuk mengikuti pelatihan yang menggunakan
konsep e-Learning. Ketika e-Learning itu diwajibkan kepada mereka 30%
menolak untuk mengikuti [Dublin, 2003]. Sedangkan studi lain
mengindikasikan bahwa dari orang-orang yang mendaftar untuk mengikuti
e-Learning, 50-80% tidak pernah menyelesaikannya sampai akhir [Delio,
2000].
Paling tidak itu dulu, kita akan lanjutkan pembahasan kita dengan membangun sistem e-Learning dan pemilihan Learning Management System (LMS). Ikuti terus seri artikel ini
REFERENSI:
-
Glossary of e-Learning Terms, LearnFrame.Com, 2001
-
Darin E. Hartley, Selling e-Learning, American Society for Training and Development, 2001
-
Dublin, L. and Cross, J., Implementing eLearning: Getting the Most from Your Elearning Investment, the ASTD International Conference, May 2003.
-
Michelle Delio, Report: Online Training ‘Boring’, Wired News, located at www.wired.com/news/business/0,1367,38504,00.html
-
Romi Satria Wahono, Sistem eLearning Berbasis Model Motivasi Komunitas, Jurnal Teknodik No. 21/XI/TEKNODIK/AGUSTUS/2007, Agustus 2007
0 komentar:
Posting Komentar